Lebih Penting Mengurusi Kesejahteran Rakyat Daripada Mengurusi “Bintang-Bulan”
Oleh: RISFANDY
Apa
sebenarnya yang dipikirkan oleh wakil rakyat kita di Aceh ini? Selama beberapa
waktu belakangan mereka hanya menyibukkan diri dengan persoalan sebuah bendera
yang tidak kunjung kelar, dan sebenarnya urusan bendera bukanlah maha penting
di Aceh. Sedangkan rakyat menginginkan kesejahteraan yang menjanjikan untuk
ketenteraman hidupnya.
Bendera
yang direncanakan saat ini sama persis dengan bendera bintang-buleun yang
dulunya dimiliki oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sampai saat ini masih menjadi
polemik di Aceh. Pemerintah pusat tidak menyetujui keinginan pemerintah Aceh
yang tetap teguh pada pendiriannya, bendera Aceh harus bintang-bulan.
Memang
sangat menguras energi dan pikiran dalam meluruskan permasalahan ini. Mendagri
Gumawan Fauzi pernah memberikan sindiran terkait hal tersebut, untuk apa
memikirkan bendera terus, rakyat lebih membutuhkan kesejahteraan. Dia juga
menegaskan bendera bulan-bintang dilarang berkibar sampai ada keputusan final
dari pemerintahan pusat. Program-program kesejahteraan rakyat Aceh yang
seharusnya menjadi prioritas utama justru tertunda.
Hal tersebut tentu saja menuai reaksi keras dari
para pendukung bendera bulan-bintang, khususnya yang berasal dari Partai Aceh
(PA). Di antaranya adalah anggota DPRA komisi A, Abdullah Saleh SH. Ia
menyatakan bahwa pernyataan Mendagri tersebut sebagai pernyataan yang ngawur
dan tidak berimbang karena mempersoalkan bendera dan kesejahteraan Aceh yang
tidak ada hubungannya.
Namun larangan itu dihormati Gubernur Aceh, yang kemudian menyatakan
tidak ada pengibaran bendera secara resmi pada saat memperingati delapan tahun
kesepakatan damai MoU Helsinki tangal 15 Agustus 2013. Padahal sebelumnya
tersebar berita bahwa panitia sudah dibentuk untuk merancang peringatan dengan
pengibaran bulan bintang secara resmi. Larangan itu juga yang membuat aparat keamanan menyita ratusan
bendera yang dipancangkan di pinggir-pinggir jalan di kawasan pesisir timur
Aceh. Kisruh sempat muncul antara warga dengan aparat, kendati tak meluas dan
selesai damai. Tapi tak sepenuhnya bersih, sampai saat ini masih bisa kita
temukan dibeberapa tempat.
Sementara itu, reaksi masyarakat umum menilai
bahwa pembahasan bendera Aceh yang berlarut-larut hanya menghabiskan anggaran
Aceh saja, yang sebaiknya dapat digunakan untuk kepentingan rakyat. Banyak dari
masyarakat mengungkapkan bahwa seharusnya pemerintahan Aceh di bawah pasangan
Zaini-Muzakkir ini harus lebih fokus pada upaya revitalisasi ekonomi Aceh
karena kesejahteraan rakyat Aceh merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi
dalam upaya penguatan perdamaian di Aceh.
Sampai
saat ini belum dapat kita lihat bersama Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan
Zaini-Muzakkir belum tampak realisasi program-program yang diperuntukkan bagi
kesejahteraan rakyat. Rencana revitalisasi pelabuhan-pelabuhan Krueng
Geukuh dan Langsa sebagai pelabuhan internasional pun hanya sebatas wacana.
Pembangunan fasilitas transportasi publik pun terhambat dan cenderung
ditinggalkan di berbagai daerah akibat para kontraktor-kontraktor nakal yang
mau hanya menerima anggaran besar namun enggan menuntaskan pekerjaannya, dan
tentu persoalan pendidikan Aceh yang “sukses” menduduki peringkat pertama
terendah dalam skala nasional. Padahal apabila dilihat dari anggaran Aceh
yang mencapai hingga angka 12 trilyun rupiah, mustahil jika pemerintah Aceh
tidak dapat berbuat apa-apa dalam mengatasi persoalan-persoalan di atas.
Pemerintah
Aceh hanya memberatkan fokus pada persoalan identitas kelompok, bukan rakyat.
Saya menyatakan identitas tersebut sebab jelas dapat kita lihat sampai sekarang
mereka tetap ingin mempertahankan bendera yang dipertahanan para kombatan-kombatan
GAM dulu yang menurut saya itu saparatis. Sedangkan yang kita sebagai rakyat
tidak membutuhkan hal tersebut, setiap rakyat pasti ingin pemimpinnya dapat
mensejahterakan mereka, bukan menerima keinginan pemimpin demi identitas
kelompok yang memaksakan untuk kita menerimanya. Dapatkah identitas kelompok
pemimpin kita dapat membuat kita hidup sejahtera? Terus janji-janji cek
Zaini-Mualem kemana?
Hingga
kini kita belum dapat melihat perubahan yang drastis di tanah rencong ini,
sedangkan anggaran melimpah, tapi mereka terlalu banyak berfoya-foya hanya demi
mempertahanan bendera yang sama sekali tidak dapat membawa perubahan yang
besar. Adakah kita lihat angka kemiskinan di Aceh berkurang? Apakah mutu
pendidikan di Aceh berkualitas? Saya rasa tidak, tidak sama sekali. Yang kita
lihat sekarang ini hanya kelompok tertentu saya yang dapat hidup sejahtera
tanpa memikirkan yang tidak sejahtera.
Ah,
menurut saya semua itu kepentingan mereka yang lapar akan kedudukan,
bukan kepentingan kita bersama. Miris memang hidup dibanggsa ini. Semoga Yang
Maha Kuasa menunjukkan kekuasaan-Nya kepada mereka yang murka, agar ini semua
cepat berakhir.
. . . S E K I A N . . .